Kekuatan aqliyya (nalar) merupakan senjata berpikir insan moderen. namun sesungguhnya konstruksi konsep berpikir tidak hanya bersandar pada alur ilmiah dan logis yg bersifat linier. tetapi pula beyond the linier thinking atau out of the box yakni cara-cara berpikir kreatif “menyamping” yg disebut “lateral thinking” (Edward de Bono, The Use of Lateral Thinking, 1967).
Alur ilmiah dalam tataran kerangka berpikir positivisme sangat bermanfaat serta absolut dibutuhkan keberadaannya bagi pengembangan ilmu absolut alam (exacta and natural science). pada sisi ini kekuatan berpikir linier memang sangat perlu ditumbuhkan karena terkait menggunakan konsistensi di yang akan terjadi keilmuan. Sesuatu dianggap ilmiah dalam arti terukur serta empirik jika proses dan mekanisme yg dilewati mengikuti kaidah ilmiah yg telah tertata secara linier. Semakin ketat, rigid serta prosedural urut-urutan proses dilakukan semakin rupawan hasil yg akan diperoleh.
Proses ini diharapkan dalam membuatkan produk-produk yg didapatkan dari bidang keilmuan yg dipayungi sang paradigma positivistik. sang karenanya, penelitian ilmu alam, ilmu eksakta, serta ilmu-ilmu diluar ilmu humanisme amat cocok buat berbagi mekanisme linier ini.
pada dasarnya berpikir lateral mengajak kita buat pindah berasal keberadaan wangsit yang telah terdapat ke suatu ilham baru yang tidak selaras tetapi memiliki hubungan dengan wangsit awal. Jadi, berpikir lateral adalah hal yang terkait menggunakan kondisi-situasi mengemuka. Hanya saja berpikir secara lateral bukan membangun pandangan baru baru secara linier yg berurutan namun menemukannya secara “menyamping”.
Berpikir kritis pada konteks penerapan berpikir lateral ialah keniscayaan yang mengejawantahkan tumbuh–kembangnya cikal bakal produk-produk kreativitas insan. bila berpikir linier mengajak kita mengungkapkan gagasan secara berurutan dan ajeg, maka berpikir lateral sebaliknya, ia mengajak kita agak “nyeleneh” dan tidak mesti berurutan disesuaikan menggunakan azas pemanfaatannya.
pada sisi tertentu pada pelatihan sumber daya manusia (sdm) ruang berpikir linier diharapkan. namun, pada titik lainnya implementasi berasal pemikiran lateral yg diperlukan serta didorong buat terwujud agar organisasi bisa mengantisipasi perkembangan asal dinamika organisasi. dalam konteks ini baik berpikir linier juga berpikir lateral sebaiknya memperoleh tempat yg seimbang serta bisa dimanfaatkan sesuai peruntukkan.
di ketika ini diketahui bahwa dominasi pemecahan masalah dalam global pendidikan lebih di cara-cara berpikir linier yg mengikuti alur prosedur ala ilmu-ilmu alam dan eksakta yg rigid, absolut, ajeg, terukur dan empirik. Cara berpikir ini terus merambah ke ilmu-ilmu lain yang sebenarnya nature serta sifat keilmuannya tidak selaras. Ibarat virus, penyebaran cara berpikir linier terus merasuk ke relung-relung kehidupan insan sehari-hari disamping tentunya menular ke bidang keilmuan selain ilmu-ilmu alam dan ilmu sempurna seperti psikologi, sosiologi, ekonomi dan aneka macam ilmu sosial kemanusiaan lainnya.
akibat penanaman cara-cara berpikir linier yg demikian panjang serta telah bertahun-tahun lamanya sejak dari jenjang pendidikan awal (Taman Kanak-kanak/SD) hingga perguruan tinggi, maka pola-pola berpikir insan Indonesia pada umumnya jua mengikuti atau mempunyai 83ac9cb3e4459a85df0cacfb819e6b77 yang linier seperti prosedural, kaku, sempit dan seragam. tidak terkecuali para pemangku kebijakan dibidang pendidikan di negeri ini masih kerap menganalisis persoalan-masalah yg ada dari sudut pandang cara berpikir linier tersebut.
menjadi contoh, waktu pendidikan tinggi masih dalam kementerian pendidikan serta kebudayaan (Kemendikbud) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) pernah berwacana menyiapkan sistem penjaringan yang berbasis nilai rapor untuk masuk perguruan tinggi. tahu bahwa nilai rapor setiap sekolah tidak sama standarnya maka Dikti menyiapkan rumus kuantitatif buat menstandarisasi nilai-nilai rapor dari sekolah yang tidak selaras itu. Ini ialah cara berpikir linier.
Cara berpikir linier ditentukan oleh kerangka berpikir pembelajaran ilmu eksakta serta alam yang mengutamakan pendekatan kuantitatif. Padahal, jangankan antar wilayah, pada satu daerah saja standar nilai rapor di setiap sekolah mampu fc206ad04f4e2453ce9aad41266780bc. namun pihak Dikti yakin bisa menstandarisasi nilai-nilai rapor dengan mengutak-atik nilai-nilai menggunakan rumus-rumus yg sudah disiapkan.
Formula yg diajukan Dikti ini terkesan menafikan persoalan non kuantitatif atau yang bersifat kualitatif mirip fasilitas, sarana prasarana pendidikan, metodologi, kualitas guru, manajemen sekolah dan berbagai ketidak-seragaman lainnya yg biasa tampak pada dunia pendidikan.
kenyataan di atas menggejala tidak hanya pada dunia pendidikan tetapi pula dirasakan dan ditemukan di komunitas sosial masyarakat serta organisasi lain termasuk organisasi pemerintah yang kerap dikeluhkan publik. aneka macam duduk perkara yg dihadapi organisasi pemerintah misalnya pada Kementerian agama asal waktu ke ketika kian kompleks serta tak kunjung terurai secara baik buat ditangani dan diatasi dengan hasil signifikan. Organisasi pembawa spirit keagamaan itu malah tidak mampu menjadi model yg patut buat ditiru sang organisasi lain. terdapat kesenjangan antara spirit keagamaan yg diemban serta prakteknya.
Singkatnya, cara berpikir linier dalam tataran postivistik sudah relatif usang mendominasi kehidupan kita sehari-hari, mulai dari masyarakat biasa sampai para elite yang diberikan jujur selaku pemegang kebijakan dan pemangku kepentingan pada negeri ini. Institusi pendidikan mengambil alokasi relatif besar pada menanam-suburkan cara-cara berpikir linier ini.
Memang tidak selalu galat berbagi cara berpikir linier, hanya saja porsi buat menumbuh-kembangkan berpikir contoh ini mestinya seimbang dengan cara berpikir lateral. di negeri ini ketimpangan antara ke 2 cara berpikir tersebut masih tampak mencolok serta di biasanya cara berpikir linier ini sangat dipelihara dan dimanjakan.
di sisi lain sebenarnya cara berpikir lateral pun diperlukan dan perlu disebar-luaskan menjadi bagian asal pengembangan kualitas sdm putra-putri bangsa. ‘Lateral thinking’ merupakan kekayaan potensi yang terdapat dalam diri individu insan yang perlu diwujudnyatakan melalui sejumlah syarat kondusif. Jika kita membuka diri bagi tumbuh-kembang cara berpikir lateral ini, maka organisasi yg mandek, stagnan dan jumud akan dapat dirubah menjadi lebih dinamis dan produktif. Kekuatan aqliyya yg diberdayakan pada suatu organisasi semestinya mencakup jua cara berpikir lateral.
Posting Komentar