alt Radikal & Radikalisme

Belakangan ini, kata yg viral dan  poly dibicarakan hampir seluruh kalangan artinya istilah radikal serta radikalisme. Suatu istilah yg terkadang bercampur aduk dan  membingungkan. Untuk itu, dilihat perlu diluruskan makna kedua istilah tersebut agar tidak galat yang menunjuk di gagal faham. Karena, radikal dan  radikalisme sesungguhnya ialah 2 kata yg mempunyai kemiripan pada sebutan, namun tidak sinkron dalam makna yg sesungguhnya.

 

Pada pendekatan filsafat, berpikir radikal justru sangat diharapkan. Karena, berpikir radikal dalam berfilsafat bermakna berpikir mendalam (fundamental) hingga di akar objek yang dikaji. Hal ini jua dijelaskan dalam Kamus akbar Bahasa Indonesia mengungkapkan radikal dalam arti “secara fundamental (hingga pada hal yang perinsip) ; atau maju pada berpikir atau bertindak”. Dalam konteks ini, berfikir radikal adalah proses berfikir secara mendalam hingga pada makna kebenaran yang tertinggi. Melalui proses berfikir secara radikal, insan mampu memperoleh kebenaran serta menemukan sejumlah inovasi ilmiah (ilmu pengetahuan). Berfikir secara radikal bisa jua dimaknai menjadi upaya berfikir sampai pada akar duduk perkara yg ada, sehingga dibutuhkan sebuah keputusan sahih-benar bijak serta tidak salah  dalam mengambil keputusan.

 

Tidak sinkron menggunakan istilah “radikalisme”. Pada Kamus besar  Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “radikalisme artinya paham atau peredaran yg menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial serta politik dengan cara kekerasan (perilaku ekstrem) atau drastis”. Demikian jua pada aneka macam kamus ditemukan bahwa makna radikalisme artinya aksi mencolok buat menyerukan paham ekstrem supaya diikuti sang poly orang.

 

Jika dirujuk berasal makna di atas, terlihat bahwa berfikir radikal sangat diharapkan pada pengembangan ilmu pengetahuan serta menampilkan perilaku bijaksana sebelum mengambil sebuah keputusan. Namun, bertolak belakang dengan makna radikalisme. Karena, radikalisme merupakan paham ekstrem yg sering memakai pemaksaan dan  kekerasan supaya apa yg diinginkan (diyakini) diterima sang orang lain menggunakan menghalalkan segala cara. Gerombolan  penganut radikalisme ini bukan hanya berhadapan pada negara (politik), tapi juga terkadang berhadapan dengan antar kepercayaan , suku, budaya, bahkan intern agama. Gerakan radikalisme umumnya bersifat masif dan  membuat karakter intoleran dan  memandang kebenaran tunggal hanya milik kelompoknya. Melihat syarat ini, gerakan radikalisme sangat berbahaya bagi tatanan suatu negara serta peradaban umat insan. Eksistensi radikalisme menjadikannya menjadi musuh beserta serta perlu ditindak secara serius.

 

Pada tataran realitas, gerakan radikalisme tak jarang memakai “kepercayaan ” menjadi indera justifikasi buat membakar sisi keberagaman umat. Pada konteks ini, sesungguhnya memungkinkan seluruh pemeluk agama berpotensi memiliki kelompok yang menganut radikalisme. Hal ini dapat dicermati pada sejarah umat manusia, tanpa perlu memaparkannya. Sebab, memaparkannya akan kurang bijak pada upaya menjaga keharmonisan kehidupan umat beragama.

 

Buat meluruskan penggunaan kata radikal serta radikalisme yang benar serta bijak pada memutuskan aksi yg tergolong radikalisme, maka perlu dilakukan beberapa upaya, antara lain :

 

Pertama, perlu standarisasi (timbangan) hal-hal (aksi atau pemikiran) yang mengkategorikan menjadi pengejawantahan radikalisme. Standard tadi akan menjadi alat kontrol bagi seluruh pihak pada meminimalisir radikalisme. Di antara timbangan tadi mencakup paham bernegara, berbangsa, serta beragama. Batasan ini perlu dilakukan guna menjaga keharmonisan berbangsa dan  bernegara. Sebab, terkadang mungkin atau justru penyebab radikalisme dampak ketidakfahaman atas apa yang dilakukan (aksi dan  pemikiran) ternyata masuk dalam kategori yg justru membahayakan poly orang.

 

Ke 2, baku ungkapan, fitnah, hujatan, cacian, hoax serta sejenisnya yg dapat memicu kebencian serta permasalahan antar golongan. Ungkapan dimaksud bisa dalam bentuk mulut, tulisan (dalam berbagai media sosial), gambar (karikatur), film, atau media lainnya. Melalui baku ini, masyarakat akan bisa menyeleksi ungkapan yang lebih bijak supaya terhindar berasal makna yang menggiring di radikalisme. Jangan hinakan diri untuk memfitnah dan  mencerca sesama. Benar-benar, berkacalah bahwa isi diri adalah apa yg keluar berasal mulut sendiri.

 

Ketiga, adanya langkah-langkah preventif sedini mungkin serta upaya kuratif yang bijaksana dalam meminimalisir radikalisme. Langkah preventif tentunya menanamkan karakter anak bangsa yg anti radikalisme, baik pada keluarga, sekolah, maupun warga . Sedangkan upaya kuratif dimaksudkan buat mengembalikan anak bangsa yang telah galat merogoh radikalisme sebagai pilihan diri. Upaya yg dimaksud tentunya mengembalikan karakter anak bangsa dalam ajaran agamanya yang sahih, memberikan penjelasan makna falsafah serta ideologi negara yang mungkin dipahami secara keliru  , serta membantu mengembalikannya di karakter insan yang berperadaban.

 

Keempat, standarisasi eksekusi atas bentuk-bentuk radikalisme agar tidak keliru dalam menyampaikan funishment terhadap bentuk radikalisme yg dilakukan secara berkeadilan.

 

Kelima, memfilter tayangan serta media yg bisa mengarah pada radikalisme dan  merugikan.

 

Keenam, lakukan pelatihan secara lembut dan  menyejukan terhadap orang-orang yg terindikasi radikalisme. Sebab, mungkin sikap radikalisme tersebut timbul dampak ketidahtahuannya atas apa yg dipahami. Atau mungkin karena sesuatu penyebab lainnya. Buat itu, perlu ditelusuri akar duduk perkara secara bijak buat dicari obat yang mujarab. Bak istilah nasihat lama   “bagai menarik rambut pada tepung. Rambut tidak putus, tepung tidak berserak.”

 

Penyelesaian radikalisme tentu memerlukan langkah-langkah yg bijaksana. Pada hal ini diperlukan kesadaran, kedewasaan, serta semua elemen perlu menunda diri sambil introspeksi. Tidak sinkron pendapat lumrah, tapi perlu saling menghargai jauh lebih utama. Analogi sederhana, bagai sebuah rumah besar  sempurna memiliki aturan. Alangkah bijak Jika menghargai aturan pemegang amanah tempat tinggal   tadi, meski kita tak perlu menukar aturan yang diberlakukan dalam menata kamar sendiri. Gunakan aturan pada kamar sendiri, tanpa harus memaksa supaya rumah akbar wajib  mengikuti. Istilah bijak perlu menjadi renungan bersama, bahwa “kita memang memiliki kebebasan, tetapi dibatasi sang kebebasan yang dimiliki orang lain. Kita boleh mempunyai standard eksklusif atas kebenaran, akan tetapi harus juga menghargai aturan dan  kebenaran yg disepakati beserta sang orang lain”. Bak kata pepatah, “di mana bumi dipijak, di situ jua langit dijunjung”. Jangan menjerumuskan diri “Bila kail panjang sejengkal, jangan samudera  hendak diduga”. Bahkan jangan jua bagai “katak pada pada tempurung” yg tahu kebenaran sebatas ruang tempurung. Sebab, pada luar tempurung ternyata terdapat kebenaran lain yg lebih mengedepankan kemashlahatan keumatan.

Post a Comment