Gambar oleh Jean Marc Bonnel, diambil dari Pexels.


 ————————————  


Sekedar sebuah cerita singkat yang saya (Yonaso) tulis karena iseng. Daripada mubazir, saya bagikan saja di sini, hitung-hitung memberi 'napas' untuk blog ini.


(Author Note: Berpikirlah secara logis, jangan lewatkan detail sekecil apapun, dan jangan tertipu oleh petunjuk palsu, maka anda akan menemukan jawaban dari misterinya bahkan sebelum mencapai akhir cerita.)


Genre: Horor, Supranatural, Thriller, Misteri.


————————————  


Malam ini, gang Fukou di kota kecil Fujiwara ditelan oleh kegelapan dan hujan. Suara percikan air yang beradu dengan aspal serta suara hembusan angin malam mengisi suasana. Cahaya temaram dari lampu-lampu minimalis berusaha keras menerangi jalan, tetapi hanya sebagiannya saja yang mampu mereka terangi. Langit juga tampak gelap gulita. Jangankan bintang, bulan pun tak nampak karena tertutup awan hitam.


"Duh, hujannya, kok, makin deras?"


Sebuah keluhan pelan terdengar bersamaan dengan derap langkah diiringi suara 'plesak' yang tajam. Jelas bahwa seseorang sedang berjalan menyusuri gang sempit yang dipenuhi genangan air ini.


Beberapa saat kemudian, sosok tersebut keluar dari kegelapan dan melangkahkan kakinya setengah berlari di bagian jalan yang disinari cahaya lampu. Seorang gadis muda berusia dua puluhan dengan rambut hitam sepunggung yang digerai. Nama 'Luna' tertulis jelas di name tag miliknya. Wajahnya yang lelah dan seragam biru-merah khas toko serba ada yang dia kenakan menunjukkan bahwa dia baru saja menyelesaikan shift malam. Sesekali gadis tersebut mengeratkan genggaman pada gagang payung hitamnya yang nyaris terbawa angin, dan sesekali pula menyingkirkan anak-anak rambut basah yang menghalangi penglihatannya.


"Harus cepat sampai di rumah, nih. Kalau demam, besok bisa-bisa nggak bisa kerja. Lagipula, aku nggak mau lama-lama di gang ini," lanjut gadis bernama Luna itu seraya merentangkan lengan kiri di dada. Perlahan, dia merasakan hawa dingin yang aneh menyelimuti udara di sekitarnya. Kedua kakinya secara otomatis menambah kecepatan.


Wajar saja dia merasa begitu. Gang ini memang berbahaya, karena itu dinamai 'Fukou' yang berarti kemalangan. Terhitung sejak awal tahun, sudah 4 gadis yang menemui nasib malangnya di sini, lenyap tanpa jejak di tengah kegelapan malam akibat ulah sesuatu yang dijuluki 'Yokai Tengah Malam.' Tak seorangpun mengetahui siapa dia sebenarnya maupun apakah ia manusia atau bukan, sebab ia tak pernah meninggalkan satupun petunjuk tentang dirinya.


Luna pun sebenarnya tak ingin pulang lewat gang ini, tapi apa boleh buat. Ini satu-satunya jalan pintas menuju apartemen tempat tinggalnya. 'Biar lebih berisiko, aku bisa menghemat durasi perjalanan sampai 50%. Lagipula nggak akan ada yang terjadi selama aku nggak lama-lama di sana,' begitulah pikirnya.


Namun, kelihatannya perkiraan Luna salah. Malam ini, dia mendapati sesuatu yang lebih mengerikan daripada sekedar hawa dingin. Derap langkah yang bukan miliknya terdengar dari arah belakang, terus bertambah dekat seiring detik berlalu. Dari suaranya, itu bukan langkah kaki satu orang saja, tapi dua orang.


Jantung Luna berdegup kencang, seolah hendak melompat keluar dari rongga dada. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Yokai Tengah Malam atau bukan, Luna jelas tidak mau berurusan dengan orang-orang itu. Gadis berambut hitam kelam tersebut berlari secepat yang dia bisa. Namun, derap langkah di belakangnya malah terdengar semakin dekat. Dalam sekejap saja, salah seorang pemilik langkah sudah berada tepat di belakangnya dan mencengkeram bahunya. Luna baru saja hendak menjerit dan melempar payungnya ketika sebuah tinju melayang, memaksa sang pemilik untuk menyingkirkan tangannya serta menjatuhkan payung yang dipakainya.


Luna memutar tubuhnya seraya mengatur napas serta detak jantung. Di tengah keterkejutan yang masih melanda, netra gadis itu menangkap imej seorang pria botak bertubuh besar yang tengah mengaduh kesakitan. Pria lain yang nampak lebih muda dengan tubuh jangkung dan rambut kecoklatan menatap tajam ke arah si pria botak sambil menggenggam payung berwarna putih. Tampaknya, dialah yang baru saja melancarkan tinju.


"Apaan, sih, lu, b*jing*n?! Jangan ganggu, br*ngs*k!!" bentak si pria botak dengan kasar.


"Lu yang harusnya berhenti ganggu dia, dasar penguntit." Si pemuda membalas. "Lu pikir gua bakal biarin lu berbuat seenaknya?"


"Berlagak jadi pahlawan lu, hah?! Mau mati lu?!" Pria botak menyingkap ujung bajunya, menunjukkan sarung pisau yang tersembunyi di sana. Akan tetapi, belum sempat tangannya bergerak menghunus, telinganya lebih dahulu menangkap raungan sirine mobil polisi.


"Gimana? Kalau lu pakai waktu yang tersisa untuk bunuh gua, satu pengganggu bakal lenyap, tapi hukuman lu akan lebih berat dan lu jelas nggak akan bisa lari." Pemuda berambut coklat itu berujar sambil tersenyum penuh kemenangan.


"Sialan, lu!!!" Kehabisan pilihan, si pria botak terpaksa berlari menjauh. "Lihat aja nanti, lu, ya!!!"


Sang pemuda jangkung menghela napas lega sambil terkikik geli. Dia mengeluarkan ponsel dari sakunya, kemudian mematikan alarm. Ternyata raungan sirine tadi adalah nada dering alarm yang telah dia pasang.


"Tertipu sama alarm, dasar bodoh. Ternyata cuma penjahat kelas teri," ucapnya seraya menaruh kembali ponsel di saku. "Perfect timing. Waktu penyerangannya sesuai dengan perkiraanku."


Sementara itu, Luna yang baru saja tersadar dari keterkejutan segera menghampiri pemuda tersebut dan membungkukkan tubuh sejenak.


"Terima kasih banyak atas pertolongan anda..., anu...." Gadis itu berhenti sejenak, bingung hendak memanggil sang pemuda dengan sebutan apa.


"Panggil saja 'Masahito-san', dan tidak perlu terlalu formal saat bicara denganku. Aku yakin umur kita tidak berbeda jauh, kok," ujar pria yang rupanya bernama Masahito itu. "Daerah ini memang tidak aman, apalagi waktu tengah malam dan hujan deras begini. Bagaimana kalau kamu kuantar pulang saja? Gratis, tidak dipungut biaya," lanjutnya setengah bercanda.


"Eh?" Pupil mata Luna membesar. "Apa tidak masalah?"


"Tidak masalah," sahut Masahito. "Kamu tinggal di mana?"


"Apartemen Kitsune, Distrik Yoruka nomor 1-14-5."


"Wah, kebetulan. Rumahku di dekat situ juga. Ayo, biar kuantar."


Mulanya, Luna ragu-ragu, tapi setelah berpikir ulang dia memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Kalau Masahito adalah orang jahat, harusnya dia tidak akan menolongnya tadi. Selain itu, apartemen tempat tinggalnya searah dengan rumah Masahito, jadi diantarkan pulang jelas tidak akan menjadi hutang budi.


"Baiklah." Luna menganggukkan kepalanya pertanda setuju. "Terima kasih banyak, Masahito-san."


Mereka pun berjalan beriringan, menyusuri jalan beraspal yang sempit dan basah seraya sesekali mengambil tikungan. Tidak ada percakapan sama sekali sebelum akhirnya Masahito buka suara.


"Luna-san, kenapa kamu pulang malam-malam lewat gang yang berbahaya seperti ini?" tanyanya. "Kudengar sudah empat gadis hilang di gang ini dan mereka belum ditemukan sampai sekarang."


Luna tersenyum masam. "Sebenarnya karena terpaksa. Gang ini satu-satunya jalan pintas ke apartemenku. Kalau nggak lewat sini, aku akan sampai di apartemen lebih larut dan bangun kesiangan."


"Menurutku, lebih baik kamu lewat jalan lain. Bangun kesiangan lebih baik daripada ada sesuatu terjadi padamu, 'kan?" Masahito mencoba menyanggah. "Selain itu, apa kamu nggak merasa aneh?"


"Eh?" Luna menoleh, menatap wajah Masahito yang kini memasang ekspresi serius. "Apa maksudmu?"


"Padahal sudah berbulan-bulan berlalu sejak gadis terakhir menghilang, tapi sama sekali nggak ada petunjuk yang ditemukan oleh polisi. Itu yang aneh," jelas Masahito. "Bisa jadi pelakunya betulan yokai."


"A-Apa itu?" Luna berusaha menutupi ketakutannya dengan gelak tawa, padahal bulu kuduknya sedang berdiri tegak. "Mana mungkin. Tolong jangan menakuti-nakuti begitu."


"Ah, maaf." Masahito menggaruk bagian belakang kepalanya. "Aku membuatmu takut, ya? Kalau begitu, kita ganti topik saja."


Malam semakin larut dan hujan bertambah deras. Demi melenyapkan ketakutan, kekhawatiran, serta kecurigaan, Masahito dan Luna membicarakan banyak topik menyenangkan, mulai dari pekerjaan hingga selera musik. Akan tetapi, perasaan-perasaan buruk tersebut malah menguat alih-alih menghilang. Luna berusaha mengabaikannya, tapi kelihatannya perasaan-perasaan itu benar. Pasalnya, Masahito tiba-tiba memimpinnya ke arah yang berbeda di salah satu tikungan.


"Anu..., Masahito-san, apa kamu yakin ini jalan ke Distrik Yoruka?" ucapnya agak ragu.


"Tentu saja." Pria berambut coklat itu berujar dengan mantap. "Ini jalan pintasnya. Jangan khawatir. Gang ini sudah seperti halaman belakang rumahku, jadi aku tidak mungkin salah. Ayo, kita lanjut jalan."


Mau tidak mau, Luna menurut dan lanjut berjalan. Pada titik ini, pikiran negatifnya telah memuncak. Dia yakin Masahito sebenarnya bukan pria baik-baik—atau pada kemungkinan terburuk, Masahito adalah Yokai Tengah Malam. Namun, sekalipun memang itu kebenarannya, tak ada yang bisa dia lakukan untuk melawan kecuali satu.


"Ah, maaf," ucap Luna tiba-tiba seraya mengeluarkan ponsel dari saku. "Ada sesuatu yang harus kuurus. Tolong tunggu sebentar, ya."


Gadis berambut hitam kelam itu berjalan menjauh, kemudian buru-buru memencet tombol '1-1-0' di keypad ponsel miliknya demi menghubungi polisi. Dia baru saja hendak memencet tombol 'call' ketika listrik dalam jumlah cukup besar mengaliri tubuhnya. Jeritan tertahan pun keluar dari mulutnya. Kedua tangannya refleks menegang, memaksanya menjatuhkan ponsel serta payung.


Pandangan Luna berputar dan menggelap. Tubuhnya mulai lemas. Dengan sisa-sisa tenaganya, gadis itu menoleh ke belakang dan mendapati Masahito tengah menempelkan stun gun di punggungnya seraya tersenyum licik.


"Perfect timing. Semuanya sesuai dengan perkiraanku."


Hanya itu yang bisa Luna dengar sebelum dia jatuh pingsan.


————————————  


Ketika Luna tersadar kembali setengah jam kemudian, dia disambut oleh bau apek khas bangunan tua dan sensasi kayu kasar di punggung. Perlahan, gadis berambut hitam kelam itu membuka mata. Betapa terkejutnya dia saat mendapati pemandangan tubuhnya sendiri yang terikat di kursi reyot.


"A-Apa yang-"


Spontan Luna mengangkat kepala, berusaha menganalisa lingkungan sekitar. Dia tengah berada di sebuah gudang tua yang nampaknya masih berada dalam Gang Fukou tadi dan Masahito bersama lima pria tak dikenal sedang berdiri tepat di hadapannya.


"Akhirnya kau bangun juga," ucap Masahito dingin. Senyum licik tergambar jelas di mukanya. "Sekarang mengakulah, Yokai Tengah Malam."


Luna membelalakkan kedua matanya lebar-lebar. Dia hanya gadis biasa, dan dia yakin akan hal itu. Tuduhan Masahito sungguh tidak masuk akal baginya.


"A-Apa yang kamu bicarakan, Masahito-san?!" sahut Luna. Kepanikan, kebingungan, serta keterkejutan bercampur-aduk dalam hatinya. "Kenapa kamu tiba-tiba menuduhku begitu?!"


"Masih mencoba pura-pura ternyata." Senyum Masahito perlahan berganti menjadi ekspresi serius. Didekatkannya wajahnya ke wajah Luna. "Sayang sekali, kau nggak bisa membohongi polisi. Menurut rekaman CCTV dan kesaksian warga sekitar, sejak gadis pertama hilang sampai sekarang, satu-satunya yang masih lewat gang ini cuma kau."


"Aku sudah bilang, 'kan?! Itu karena terpaksa!!" Luna berusaha mengelak sekuat tenaga. "Gang ini satu-satunya jalan pintas ke-"


"Kalau begitu, kenapa kau nggak pindah apartemen atau pindah tempat kerja saja?!" potong Masahito dengan suara keras dan nada tinggi. "Aku dengar dari temanmu, kau menolak tawaran pekerjaan dari dia padahal tempat kerjanya lebih dekat dengan apartemenmu kalau pakai jalan utama. Kenapa?!"


"Selain itu, seandainya nggak ada tawaran pekerjaan lain sekalipun, kau harusnya masih punya pilihan untuk lewat jalan utama!! Kau harusnya tahu kalau keselamatan lebih penting daripada datang tepat waktu ke tempat kerja!! Tapi, kau memilih untuk tetap bekerja di toko itu!! Kenapa?!"


Masahito mengulurkan tangan kirinya yang terkepal. Jari telunjuk yang panjang dan kurus menjulur keluar dari sana, menyentuh leher Luna.


"Jawabannya cuma satu. Kau sebenarnya tidak pernah takut kepada Yokai Tengah Malam, karena kaulah Yokai Tengah Malam itu sendiri!!!"


Luna terdiam mematung, kehabisan kata-kata. Dia menundukkan kepala, menyembunyikan muka di balik bayangan. Hatinya ingin berontak, tapi otaknya berkata penjelasan Masahito masuk akal.


"Ti-Tidak mungkin.... Aku... adalah...."


"Tidak ada gunanya menginterogasi dia lebih lanjut di sini." Masahito berbalik menghadap kelima pria lain di belakang. "Ayo, kita bawa gadis ini ke kan-"


Ucapan Masahito terpotong oleh angin kencang yang menghempaskannya beserta rekan-rekannya ke lantai. Spontan pemuda berambut coklat itu menoleh ke belakang. Akan tetapi, yang dia dapati bukan Luna yang dikenalnya, melainkan siluman wanita bercakar hitam dengan sepasang mata putih bersinar serta rambut hitam yang diterbangkan angin. Senyum bengis terukir di mukanya.


"Kau pintar juga, manusia." Luna berkata dengan suara melengking dan menggema seraya menghampiri Masahito dan rekan-rekannya. Tiap langkahnya menimbulkan bunyi derit di lantai kayu, menambah horor suasana. "Sayang sekali, kali ini kau tidak hanya memilih wrong timing, tapi juga wrong target."


Rekan-rekan Masahito berteriak ketakutan. Spontan mereka merayap menjauh bagai rusa yang kaki belakangnya ditembak pemburu. Tubuh mereka gemetaran dan wajah mereka pucat pasi. Masahito juga sebenarnya ketakutan, tapi jiwa pemimpin memaksa dirinya untuk tetap maju dan melawan.


"Jangan mendekat, monster!!!" Masahito berseru nyaring. Pistol miliknya telah tergenggam erat di tangan kiri. "Satu langkah lagi dan kepalamu akan berlubang!!"


Luna tak mengindahkan ancaman tersebut dan terus melangkah maju. Mulut pistol Masahito mulai memuntahkan peluru tajam. Awalnya hanya satu, dua, tiga, empat, tetapi lama-kelamaan menjadi sembilan. Namun, sia-sia saja. Semua peluru itu justru menembus tubuh Luna dan menancap di tembok.


Kehilangan ketenangannya, Masahito pun turut berteriak histeris. Dia melempar pistolnya ke sembarang arah, berniat ikut melarikan diri. Sayang seribu sayang, Luna sudah lebih dulu berpindah tempat ke depannya dan mencengkeram kerah bajunya, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi.


"Harus banget, ya? Padahal manusia pria itu rasanya tidak enak." Luna menatap Masahito dengan pandangan tidak tertarik, tetapi kemudian tersenyum bengis sekali lagi. "Yah..., tidak masalah, deh. Itu lebih baik daripada nggak makan sama sekali."


Teriakan nyaring yang memilukan terlontar bergantian dari mulut Masahito dan rekan-rekannya, sebelum akhirnya bunyi hujan kembali menguasai suasana. Bersamaan dengan terhapusnya jejak-jejak sepatu para polisi malang itu oleh hujan, tubuh dan jiwa mereka lenyap ditelan Luna Sang Yokai Tengah Malam. Tak ada satupun yang tersisa, bahkan setetes darah atau sebongkah tulang.


Kegelapan dan hujan kembali menguasai Gang Fukou bak mengakhiri kisah teror lama dan memulai yang baru. Seolah-olah gang terkutuk itu sedang menunggu mangsa berikutnya, yang entah merupakan teman Luna sesama gadis, penyidik lain, gadis asing, atau...


... ATAU ANDA.


-THE END-

Post a Comment